Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah gamblang dijelaskan ke dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi (tipikor).
- Menyuap pegawai negeri;
- Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
- Pegawai negeri menerima suap;
- Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
- Menyuap hakim;
- Menyuap advokat;
- Hakim dan advokat menerima suap;
- Hakim menerima suap;
- Advokat menerima suap;
- Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
- Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
- Pegawai negeri merusakan bukti;
- Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti;
- Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti;
- Pegawai negeri memeras;
- Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain;
- Pemborong membuat curang;
- Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
- Rekanan TNI/Polri berbuat curang;
- Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang;
- Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang;
- Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain;
- Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya;
- Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melaporkan ke KPK;
- Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
- Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaan;
- Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
- Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
- Seseorang yang memegang rahasia jabatan, namun tidak memberikanketerangan atau memberikan keterangan palsu;
- Saksi yang membuka identitas pelapor.
Dari
ketiga puluh bentuk/jenis korupsi tersebut, akhirnya dapat
diklasifikasikan menjadi “hanya” tujuh kelompok, termasuk pemerasan
sebagaimana disebut pada awal tulisan. Secara lengkap, ketujuh
kategori/jenis tindak pidana korupsi tersebut adalah:
1. Merugikan Keuangan Negara
Contohnya adalah penggunaan fasilitas yang diberikan negara untuk pejabat ataupun pegawai negeri sipil, termasuk tentara dan polisi, tetapi dipergunakan untuk urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Fasilitas mobil dinas dari negara adalah fasilitas yang kerap digunakan untuk urusan pribadi keluarga sehingga hal ini dapat digolongkan sebagai korupsi.
2. Suap Menyuap
Jika terdapat semacam “award”, bisa jadi jenis tipikor suap-menyuap termasuk yang dinominasikan. Pasalnya, dari berbagai kasus yang tipikor, suap memang termasuk yang paling sering dilakukan. Mulai kasus anggota DPR AAN hingga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi AM, semua adalah tipikor jenis ini. Suap sangat populer sebagai upaya memuluskan ataupun meloloskan suatu harapan/keinginan/kebutuhan si penyuap dengan memberi sejumlah uang.
Penyuapan (atau suap saja) adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pembalasan dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima. Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.
Penyuapan
juga didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 sebagai
tindakan "memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan
maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"; juga "menerima sesuatu
atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa
pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
2. Penggelapan Dalam Jabatan
Pelaku korupsi jenis ini, tentu mereka yang memiliki jabatan tertentu atau kewenangan tertentu di dalam pemerintahan. Dengan jabatannya sang pelaku menggelapkan atau membantu orang lain menggelapkan uang atau surat berharga milik negara sehingga menguntungkan dirinya atau orang lain. Hal ini termasuk unsur-unsur yang memenuhi tindak pidana korupsi seperti yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan adalah pemalsuan dokumen maupun buku untuk pemeriksaan administrasi sehingga sang pelaku memperoleh keuntungan untuk dirinya maupun orang lain. Buku di sini juga mengandung pengertian laporan keuangan sampai dengan daftar inventaris kantor. Penggunaan bon atau kuitansi kosong adalah modus yang sering dilakukan sehingga seseorang dapat merekayasa angka-angka.
Hal
ini termasuk perbuatan korupsi.Kaitan lain dengan penyalahgunaan
jabatan atau wewenang adalah penghancuran bukti-bukti berupa akta,
surat, ataupun data yang dapat digunakan sebagai barang bukti
penyimpangan. Perbuatan ini termasuk korupsi seperti tertuang dalam
Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Pelakunya diancam hukuman maksimal 7 tahun penjara
atau denda maksimal Rp350 juta. Sebaliknya, membiarkan orang lain
merusakkan bukti-bukti penyimpangan juga termasuk korupsi dengan ancaman
yang sama.
4. Pemerasan
Seperti yang terjadi di bagian awal tulisan, pemerasan memang termasuk salah satu jenis tindak pidana korupsi. Seperti yang disangkakan pada mantan menteri tadi, pada tipikor ini, seorang pejabat negara atau pegawai negeri memiliki kekuasaan dan kewenangan, lalu dia memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya, perbuatannyadianggap korupsi.
Model lain pemerasan yang juga berhubungan dengan uang adalah menaikkan tarif di luar ketentuan yang berlaku. Misalnya, seorang pegawai negeri menyatakan bahwa tarif pengurusan dokumen adalah Rp 50 ribu, padahal edaran resmi yang dikeluarkan adalah Rp 15 ribu atau malah bebas biaya.Namun, dengan ancaman bahwa ini sudah menjadi peraturan setempat, sang pegawai negeri tetap memaksa seseorang membayar di luar ketentuan resmi.
Di
daerah Jawa Barat, ada dikenal dengan istilah “jual dedet” atau jual
paksa. Praktiknya, seorang pegawai negeri karena kekuasaannya “memaksa”
pegawai negeri lainnya untuk membeli barang, misalnya seragam, buku,
atau apa pun. Padahal, menurut ketentuan Undang-Undang, hal ini juga
termasuk kategori korupsi.
5. Perbuatan Curang
Seperti juga pemerasan, tak banyak publik tidak mengetahui bahwa perbuatan curang juga termasuk tindak pidana korupsi. Misalnya saja, pemborong proyek curang terkait dengan kecurangan proyek bangunan yang melibatkan pemborong (kontraktor), tukang, ataupun took bahan bangunan. Mereka dapat melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp350 juta.
Pengawas proyek juga curang, dengan membiarkan bawahannya melakukan kecurangan terkait dengan pekerjaan penyelia (mandor/supervisor) proyek yang membiarkan terjadinya kecurangan dalam proyek bangunan. Pelakunya dianggap melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp350 juta.
Rekanan
TNI/Polri melakukan kecurangan terkait dengan pengadaan barang ataupun
jasa di TNI/Polri. Pelakunya dianggap melanggar Pasal 7 ayat (1) hurufc
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 dengan ancaman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp350
juta
6. Benturan Kepentingan Dalam Keadaan
Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 huruf i. Benturan kepentingan tersebut, juga dikenal sebagai conflict of interest. Benturan kepentingan ini terkait dengan jabatan atau kedudukan seseorang yang di satu sisi ia dihadapkan pada peluang menguntungkan dirinya sendiri, keluarganya, ataupun kroni-kroninya.
Negara mengindikasikan benturan kepentingan dapat terjadi dalam proyek pengadaan. Misalnya, meskipun dilakukan tender dalam proyek, pegawai negeri ikut terlibat dalam proses dengan mengikutsertakan perusahaan miliknya meskipun bukan atas namanya. Hal ini jelas mengandung unsur korupsi dan dikategorikan korupsi. Pelakunya dianggap melanggar Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
7. Gratifikasi
Pengertian gratifikasi dapat diperoleh dari Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik

Tidak ada komentar:
Posting Komentar